Translate

Selasa, 09 Juli 2013

TOKOH FALAK KH. Hasan Basri




KH. Hasan Basri GELAR akademis yang sekarang ini dikejar-kejar banyak orang sekolahan ternyata tidak penting bagi Kiai Hasan Basri Said, salah seorang kiai yang pada masa hidupnya sangat getol mengamati pergerakan benda-benda langit; menggeluti disiplin keilmuan paling unik di pesantren, ilmu falak. Bagi Kiai Hasan Basri, model pendidikan yang berorientasi pada gelar itu tidak akan memberikan kebanggaan apa-apa.

Ilmu yang berorientasi pada gelar dan kelulusan tidak akan bisa dinikmati sebagai ilmu itu sendiri karena pastinya tidak akan ada inovasi; tidak ada penemuan baru. Lihat bagaimana orang sekolahan hanya berputar-putar pada pakem dan target materi yang sudah baku. Lalu lihat bagaimana para sarjana yang hanya bersibuk dengan urusan teknis: bagaimana ilmunya bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan penghidupan, mencari dan memperbanyak uang. Bukankan seharusnya sebuah ilmu itu mandiri dan tidak goyak oleh apapun jua, apalagi sekedar uang. Biarkan ilmu itu terus berkembang untuk mencapai suatu peradaban yang setinggi-tingginya.

Dengan bangga Kiai Hasan Basri menunjukkan satu alat teropong bintang yang diciptakannya sendiri, yang mampu mengukur dan mengamati gerak gerik benda langit, juga untuk mengukur arah kiblat. Alat itu terbuat dari rangkaian pipa, termasuk pipa pengintip, dilengkapi dengan penggaris bulat, kompas, benang dan bandulan kecil.

Jika anda melihat dan coba memakai alat itu pasti kesan bahwa orang Indonesia, lebih-lebih orang pesantren, banya bisa memakai dan mengkonsumsi teknologi yang diciptakan oleh Barat itu akan hilang seketika. Sebenarnya kita bisa mencapai peradaban teknologi tinggi seperti Barat namun kita atau pemerintah kita enggan mencobanya. Kita hanya senang mengkonsumsi. Bisa dibayangkan, seharusnya kita tidak butuh waktu lama untuk merubah alat sederhana buatan Kiai hasan Basri menjadi alat modern yang terbuat dari bahan yang lebih awet. Namun proses panjang sebuah keilmuan –dalam hal ini—ilmu falak sehingga mampu menciptakan teropong bintang itu ternyata sudah terlampaui oleh orang-orang pesantren, paling tidak oleh Kiai Hasan Basri.

Maka, hal terpenting ketika seorang mengaku telah ”belajar”, kata Kiai Hasan Basri, adalah bagaimana berperan dalam masyarakat melalui ilmu yang didapat. Ini yang seharusnya dibanggakan. Jadi orang kemudian tidak sekedar mentereng hanya gara-gara bergelar tinggi tapi bagaimana ”hasil belajarnya” dapat berefek kepada dalam kehidupan masyarakat sekitarnya.

Apa boleh buat. Saat ini orang belajar hanya untuk mencari gelar. Ilmu itu sendiri tidak berarti apa-apa. Lebih-lebih disiplin keilmuan yang dikejar-kejar oleh orang-orang sekolahan hanyalah yang dibutuhkan untuk kepentingan mencari pekerjaan, bukan ilmu yang penting dikembangkan untuk mencapai peradaban tinggi. Ilmu falak atau ilmu astronomi misalnya tidak akan banyak peminat karena tidak menjanjikan pekerjaan yang mentereng, posisi terhormat, atau uang banyak.

Kiai Hasan Basri Said lahir pada 1935 di sebuah kota kecil di daerah Gresik, Jawa Timur. Sejak kecil ia belajar di satu madrasah di daerahnya. Lalu setelah merasa cukup usia ia beranjak ke pesantren Gontor Ponorogo. Di sana dia berdiam selama 6 tahun. Hasan Basri Muda pernah tiga kali menempuh pendidikan tinggi namun tidak pernah lebih dari satu semester. Ia pernah belajar di UII Yogyakarta, lalu ke Kedokteran UNAIR 1 semester, dan lalu ke kedokteran hewan Universitas Brawijaya Malang 1 semester. ”Saya nggeri kalau harus praktek dengan membedah babi,” katanya. Baginya belajar di kampus memang tidak perlu menyita waktu terlalu lama. Setelah merasa cukup mengenyam dunia kampus, ia merantau ke pulau Kalimantan.

KH. Hasan Basri Sa'id yang juga pernah menjabat sebagai Anggota Lajnah Falakiyah PBNU, Penasehat LajnahFalakiyah NU Jatim. meninggal dunia pada Senin Pon, 5 Jumadal Akhiroh 1429 H/ 9 Juni 2008 M. Semasa hidupnyaKiai Hasan Basri pernah menjadi sukarelawan di satu klinik yang didirikan organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) di daerah Gresik. Klinik itu ada mula-mula sebelum kemudian organisasi Islam Muhammadiyah dan yang lainnya juga mendidikan layanan kesehatan di sana. Lalu ia pindah menggeluti dunia koperasi hingga kini. Gaji yang diterimanya dari kantor koperasi lumayan untuk membiayai tiga orang anaknya yang sukarang sudah beranjak besar. Namun di tengah aktivitas apapun, satu yang tidak pernah dia lupakan adalah bahwa dia seorang pecinta ilmu falak.

Dia belajar ilmu falak sejak kecil. Ia pernah belajar kepada Kiai Romli Hasan, seorang pakar ilmu falak di daerah Gresik. Lalu ke daerah Bangil menemui Kiai Mu’thi dan belajar ilmu falak kepadanya. Namun setelah beranjak dewasa semangat untuk menggeluti ilmu falak itu entah kenapa mengendur. Semangat untuk mendalami ilmu falak itu kembali menggebu-gebu pada usianya yang ke-33 tahun, setelah mendapat dorongan dari istri tercinta Marsyadul Ilmi yang 15 tahun lebih muda darinya.

Waktu itu warga daerah setempat membutuhkan seseorang yang bisa mengukur arah kiblat. Kiai Hasan Basri seakan tidak mau tahu. Istrinya yang tahu kemampuan suaminya langsung bergumam, ” Ilmu dari Tuhan, kalau Bapak tidak manfaatkan maka bapak berdosa.” Dorongan istrinya inilah yang membuatnya bersemangat untuk terus menggeluti ilmu falak. Dia tidak ingin menyembunyikan ilmu Tuhan. Lagi pula, istrinya selalu memberikan dukungan agar Kiai Hasan Basri terus mengabdikan dirinya pada ilmu falak. ”Dia rela saya tinggal satu minggu, karena tahu bukan untuk pribadi saya,” kata Kiai Hasan Basri. Patokannya, katanya, ilmu itu tidak untuk dijual, jadi bisa dinikmati dan terus digeluti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kutipan Favorit

Klik show untuk melihat
Iman kepada Allah SWT memberikan pengaruh besar pada tingkah laku seseorang. Ia bagaikan perisai yang menyelimuti hati dari setiap dorongan hawa nafsu.Orang yang benar-benar beriman merasa bahwa Allah SWT selalu mengawasi dan selalu ada di setiap langkahnya hingga dia akan malu jika hendak berbuat maksiat.

Iman seperti ini bukanlah iman dalam pengertian sederhana, yaitu hanya sekadar tahu bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT. Tapi, sebuah keyakinan yang didasari penghayatan bahwa Tuhan benar-benar ada dan mengawasinya setiap saat.

Sebagai gambaran, misalnya, seorang pencuri tak akan pernah menghiraukan ancaman petugas walau terus memburu dan mengawasi gerak-geriknya. Bahkan, ia akan terus mencari celah kesempatan melancarkan aksinya.

Tapi, bila timbul rasa sadar karena merasa diawasi Allah SWT, kemungkinan besar perbuatan tercela itu akan ditinggalkannya. Sebab, dia yakin tak ada celah sedikit pun untuk melepaskan diri dari pengawasan-Nya.

Ini merupakan gambaran bahwa iman menjadi kunci terciptanya kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera. Dengan memantapkan keimanan terhadap Allah SWT, perbuatan dan tingkah laku kita akan selalu diarahkan pada yang diridhai-Nya.

''Tak akan berzina seorang pezina ketika hendak berzina dia beriman. Tak akan meminum khamr seorang peminum ketika hendak minum dia beriman. Tidak akan mencuri seorang pencuri ketika hendak mencuri dia beriman.'' (HR Bukhari).

Namun, kesulitan yang sering dihadapi adalah intensitas iman kadangkala naik dan turun. Keadaan seperti ini mengharuskan kita terus berusaha menjaga keimanan agar tetap stabil.

Untuk itu, kita harus memperbanyak zikir kepada Allah SWT, baik siang maupun malam. Berzikir kepada Allah SWT bukan hanya dilakukan di waktu shalat, tapi juga dalam berbagai hal, baik ketika duduk, tidur, maupun berdiri.''Maka, bila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah ketika kamu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring.'' (QS Annisa [4]: 103).

Ada yang memahami berzikir sebatas ritual, yaitu dengan membaca kalimat tahlil, tahmid, dan tasbih. Namun, pengertian zikir yang paling utama dan substansial adalah mengingat Allah SWT sebagai bentuk kesadaran hati terdalam bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah milik-Nya.

Berzikir seperti ini dilakukan dalam setiap kesempatan dengan cara merenungi karunia Allah SWT, mengingat-ingat keagungan-Nya yang tertuang di dunia ini. Dengan demikian, akan muncul kekaguman dan kecintaan terhadap Allah SWT.

''Dan, sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut dan dengan tidak mengeraskan suara pada waktu pagi dan petang. Dan, janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.'' (QS Al-A'raaf [7]: 205)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...